
Bagaimana Marah yang Bijak?
Emosi adalah hal yang beberapa bulan ini menjadi bahan refleksi diri. Banyak hal yang aku lakukan untuk lebih kenal dengan emosi diri dan cara mengelolanya dengan lebih baik. Salah satunya adalah dengan membaca buku. Beberapa tahun lalu, aku menemukan sebuah buku dengan judul ‘Marah yang Bijak’ karya Bunda Wening. Buku mungil namun cukup membantu aku berefleksi.
Marah adalah salah satu bentuk dari emosi dasar manusia. Para ahli ada yang menyebutkan bahwa setiap manusia dibekali dengan 4 emosi dasar. Ada pula yang mengatakan bahwa manusia memiliki 6 emosi dasar. Karena setiap manusia dibekali emosi dasar, maka emosi marah pasti dimiliki oleh semua manusia. Bahkan sebenarnya bukan hanya dimiliki oleh manusia saja, hewan dan tumbuhan juga memiliki emosi marah tersebut. Karena tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak memiliki emosi marah maka artinya marah itu diperbolehkan dan menjadi salah satu fitrah manusia.
Tapi tentu saja, ada perbedaan antara marah saja dan marah tanpa kendali. Marah itu adalah sebuah sikap, bukan perilaku. Ketika marah merupakan sebuah sikap, maka perilaku yang ditunjukkan setiap orang akan berbeda-beda saat marah tergantung dengan keputusan masing-masing. Marah merupakan sikap atas ketidaksepakatan akan sesuatu atau kejadian yang membuat tidak nyaman. Sejak dulu dan secara turun temurun, marah diartikan sebagai suara yang amat keras, bentakan, kalimat kasar, mata melotot, bertolak pinggang, cubitan, bahkan hingga pukulan. Namun, apakah bisa marah disampaikan dengan cara yang lebih baik dan berbeda?
Marah tanpa kendali menunjukkan rendahnya kemampuan problem solving.
Sebenarnya, saat orangtua marah pada anak, apa sih tujuannya?
Apakah supaya anak menurut, supaya anak tidak mengulangi kesalahannya lagi, atau malah supaya anak takut dan akhirnya tidak kembali mengulang perilaku atau kesalahannya. Lalu, coba cek dengan hasilnya, apakah setelah orangtua marah, anak dapat berperilaku sesuai dengan keinginan orangtua? Apakah anak kemudian berubah menjadi penurut? Jika anak menjadi takut, apa sebenarnya yang ia takutkan? Takut melakukan kesalahan yang sama, atau malah menjadi takut pada orangtuanya?
Tujuan orangtua saat marah pada anak, seringkali tidak diterjemahkan dengan tepat oleh mereka. Anak adalah peniru yang sangat ulung, tapi benar-benar penerjemah yang sangat buruk. Sehingga segala hal yang disampaikan oleh orangtua dalam bentuk amarah, akan diterima dengan berbeda oleh anak. Jika ditanyakan pada anak, mengapa orangtuanya marah, anak berpendapat supaya anak berhenti ‘ngeyel’. Dengan kata lain, anak tidak boleh tidak setuju, tidak boleh berpendapat atau memiliki pemikiran yang berbeda dari orangtuanya. Tapi sesungguhnya apakah benar itu tujuan orangtua saat marah? Menghilangkan hak anak untuk berpendapat?
Jika selalu ada alasan untuk marah, berarti juga selalu ada alasan untuk tidak marah. Marah terjadi karena adanya pemicu yang nantinya akan memunculkan perilaku yang berbeda. Hal-hal yang biasanya menjadi pemicu orangtua marah pada anak adalah lelah fisik dan mental, panik karena perilaku anak yang tidak sesuai dengan harapan, tidak siap dan belum terbiasa dengan perbedaan, serta terlalu banyak menggunakan standar orangtua untuk anak. Saat ibu sudah banyak terpicu marahnya, tentunya dibutuhkan kepekaan ayah untuk mengambil alih peran. Begitu pula sebaliknya. Lalu, orangtua perlu berefleksi, apakah ada kebutuhan diri yang belum terpenuhi sehingga memicu amarah?
Ketika orangtua menganggap marah tanpa kendali adalah wujud kasih sayang kepada anak, kelak anak pun akan belajar menyayangi dengan amarah.
Beragam dampak dari marah tanpa kendali akan terus membekas hingga jangka waktu lama jika tidak diatasi. Yang paling pertama terdampak adalah fisiologis dan psikologis anak. Memperlihatkan kemarahan di depan anak akan membuat anak menjadi kurang empatik, menjadi agresif, serta mudah depresi. Hal ini akan memengaruhi prestasi anak di sekolah serta mengurangi kemampuannya dalam beradaptasi di dunia luar. Dampak dalam jangka panjang, kemungkinan penyakit kejiwaan, gangguan mood, rentan terhadap kecanduan narkoba, dan juga alkohol.
Anak adalah peniru yang ulung. Tentu saja salah satu dampak amarah yang lainnya adalah anak akan meniru perilaku marah orangtua. Ia bisa melampiaskan amarahnya pada teman, mainan, atau binatang yang ditemuinya. Atau justru kebalikannya, anak akan menjadi pemurung, tidak ceria, cenderung menutup diri dari lingkungannya, serta kurang berani mengambil langkaj-langkah atau keputusan penting dalam hidupnya.
Anak juga dapat menunjukkan perilaku memberontak. Ada anak yang akan memberontak secara aktif sebagai respon terhadap kemarahan orangtuanya. Anak dapat menunjukkan perilaku berteriak atau menangis karena tidak terima dengan amarah orangtua. Anak juga dapat melakukan pemberontakan secara halus, anak seperti menurut di awal setelah dimarahi namun kemudian secara sengaja melakukan sesuatu yang sebenarnya ia tahu bahwa perilaku ini akan memicu kemarahan yang lebih besar lagi. Pemberontakan juga bisa dilakukan oleh anak secara lambat atau bertahap, anak sengaja memancing orangtua untuk marah, ia akan mengabaikan orangtua saat berbicara dengan halus dan menunggu hingga suara makin lama makin naik levelnya.
Tapi, sebenarnya marah adalah perilaku yang normal dan sehat. Marah lebih baik dibandingkan dengan memendam perasaan. Marah adalah suatu bentuk komunikasi. Namun, marah seperti apa?
Marah terdiri dari 4 kategori yaitu marah yang disengaja, direncanakan, dan dikondiskan, marah spontan yang terjadi tiba-tiba, marah konstruktif yang disertai ancaman, serta marah yang destruktif yang ditumpahkan tanpa rasa bersalah dan cenderung merusak. Jadi, bagaimana bijak saat marah? Dan bagaimana marah yang bijak itu?
Tentunya marah yang bijak adalah marah yang direncanakan dan dikondisikan. salah satu indikator kematangan emosi adalah ketika seseorang mampu menyelesaikan persoalan dengan bicara, bukan dengan teriakan atau kekerasan. Seseorang yang telah memiliki kematangan emosi akan mampu mengontrol emosinya, mampu berpikir realistis, paham terhadap diri sendiri, serta mampu menunjukkan emosi dengan cara yang tepat.
Jadi, marah itu baik tapi bukan marah yang tanpa kendali. Karena selain berdampak buruk bagi anak, marah tanpa kendali juga berdampak buruk bagi si pelaku (orangtua). Maka orangtua perlu terus belajar untuk melakukan teknik mengendalikan marah. Orangtua dapat melakukan teknik relaksasi, selalu berdoa untuk meminta perlindungan, dan melakukan breaking state seperti sabda Rasul,
Apabila engkau marah dalam keadaan berdiri maka duduklah. Jika engkau masih marah maka berbaringlah, dan jika masih marah maka ambillah air wudhu. (HR. Abu Dawud)
Orangtua juga dapat melakukan papan refleksi diri. Lakukan dengan menggunakan papan strofoam dan pin. Saat orangtua marah tanpa kendali pada siapapun, tancapkan satu pin di sterofoam. Biarkan pin menancap di papan selama 7 hari. Lalu di hari ke 7 lepaskan pin tersebut. Bekas-bekas tusukan pada sterofoam tersebut adalah gambaran hal-hal yang tidak menyenangkan yang membekas pada pikiran dan jiwa mereka. Semoga dengan papan refleksi ini dapat menjadi bahan renungan bagi orangtua.
^Tulisan ini diambil dari buku ‘Marah yang Bijak’ karya Bunda Wening.

