
Tidak Ada Makanan Gagal di Jepang
“Tidak ada makanan gagal di Jepang.”
Kalimat ini spontan kuucapkan setelah mencicipi beberapa street food di Jepang. Tepatnya, saat malam pertama aku menginjakkan kaki di Osaka. Sesampainya di hotel, setelah istirahat sejenak meluruskan badan dan mandi, aku dan beberapa teman berjalan menuju Dotonbori Street, Osaka. Kabarnya di sepanjang jalan itu banyak sekali kedai jajanan yang terkenal enak. Tapi karena aku telat makan siang, tentu saja aku dan teman-teman langsung mencari rumah makan untuk makan berat sebelum mencicipi cemilan khas Jepang.
Berbekal petunjuk Google Map, kami berjalan menuju Naritaya Halal Ramen. Tempat ini memiliki nama yang sama dengan kedai ramen yang tahun lalu kucoba di daerah Asakusa. Di kedai ini selain tersedia menu ramen ada pula wagyu dan curry rice. Pelayan di kedai ini ada beberapa yang berasal dari Indonesia.

Kalimat syahadat Sertifikat halal

Shoyu Ramen Curry Rice
Setelah makan malam, kami melanjutkan perjalanan memanjakan lidah di daerah Dotonbori. Malam itu cuaca cukup dingin namun terasa hangat karena penuhnya jalan Dotonbori. Kami langsung mencari Takoyaki yang memang terkenal di Dotonbori, Osaka.


Meskipun dijual di kedai kecil pinggir jalan, cara membeli Takoyaki ini menggunakan mesin. Pembeli bisa memilih menu setelah memasukkan uang ke dalam mesin. Setelah memilih menu, keluar kartu mungil dan uang kembalian jika ada. Kartu yang keluar dari mesin kemudian diserahkan pada penjaga kedai, lalu kita akan menerima Takoyaki sesuai yang dipesan.
Pesan melalui mesin Antrian pembeli Takoyaki
Hari ke dua, aku mengunjungi Nara, tepatnya ke Nara Park. Di sekitaran jalan menuju taman dan Todai-ji banyak kedai-kedai penjual souvenir dan street food. Aku dan beberapa teman mulai mencoba beberapa jajanan saat di jalanan menuju Todai-ji dan ketika akan kembali ke stasiun Nara.
Jajanan pertama yang kucoba adalah Okonomiyaki. Makanan ini sudah banyak yang jual di Indonesia sama seperti Takoyaki. Tapi tentunya mencicipi makanan khas langsung di daerah asalnya pasti memiliki pengalaman tersendiri.

Di perjalanan kembali ke Stasiun Nara, banyak kedai jajanan yang menggoda. Kami pun mampir sejenak di Lawson untuk membeli beberapa makanan untuk bekal makan siang. Lawson di Jepang banyak juga menyediakan makanan-makanan berat seperti rice bowl dan sushi. Mochi adalah salah satu jajanan khas Jepang yang pasti harus dicoba. Meskipun di Indonesia banyak pula mochi yang khas, mochi Jepang memiliki rasa yang berbeda, manisnya pas untukku yang memang mengurangi makanan dan minuman manis.



Hari ketiga, aku mengunjungi Kyoto, tepatnya ke Fushimi Inari Taisha. Selain kuil Shinto, ternyata di bagian luarnya banyak sekali jajanan yang bisa dicoba, dari rice cake bakar atau mochi bakar, wagyu, dan banyak lagi kedai yang antriannya panjang. Aku mencoba beberapa makanan, tapi yang paling ngena itu wagyunya. Di Kyoto harga satu tusuk wagyu 500 yen, dengan porsi yang sama di Osaka harganya 1000 yen.

Proses pebakarann daging wagyu Wagyu dengan salt and pepper.
Keluar dari area Fushimi Inari Taisha, aku jajan lagi. Kali ini aku mencoba makanan semacam cilok dengan rasa manis bernama Mitarashi Dango. Penjualnya adalah seorang nenek yang membuka kedai di garasi rumahnya.


Setelah dari Fushimi Inari Taisha, aku dan teman-teman mengunjungi Arashiyama Bamboo Forest. Di sana pun banyak sekali jajanan yang menarik untuk dicoba. Karena daerahnya adalah daerah hutan dan pegunungan banyak yang jual ubi bakar semacam ubi Cilembu, tapi banyak juga yang menjual es krim. Buatku, es krim bukan pilihan di hari yang dingin. Aku kembali mencoba kue ikan khas Jepang seperti yang pernah kucoba di Asakusa tentu saja dengan rasa yang berbeda. Tapi buatku rasa kacang merah yang khas sudah paling enak. Manisnya pas.

Hari selanjutnya aku pergi berkunjung ke Kobe. Sebelum berangkat, aku pergi mencari sarapan. Karena sudah mulai bosan dengan sarapan onigiri atau sushi di Lawson dan Family Mart, aku berjalan mencari sarapan ke daerah Dotonbori. Tapi karena hari masih pagi, belum banyak kedai makanan yang buka kecuali satu kedai Rice Bowl tidak jauh dari ujung jalan.





Setelah sarapan di Dotonbori Osaka, aku makan siang di Kobe. Di Kobe banyak sekali kedai yang menjual makanan halal dan juga Kobe Beef yang harganya selangit.
Di sepanjang jalanan kota Kobe, banyak cafe-cafe mungil yang menarik. Salah satunya adalah cafe bar yang sekaligus tempat untuk membaca (atau menjual) buku. Sayangnya, aku tidak sempat mampir ke sana.

Siang itu aku makan di kedai masakan Pakistan bernama Ali’s Halal Kitchen yang memiliki menu khusus berbeda di setiap harinya. Dalam satu menu, jenis makanannya banyak dengan porsi kecil-kecil dengan bumbu rempah yang cukup pekat.

Selama di Jepang, aku menghadapi udara yang cukup dingin antara 6-13 derajat celcius. Tentunya supaya tetap sehat perlu mengkonsumsi vitamin. Di mini market seluruh Jepang sepertinya memang sudah tersedia vitamin dalam bentuk minuman jelly yang rasanya enak. Jadi, selain minuman tolak bala yang kubawa dari Indonesia dan minyak angin roll buat kerokan, vitamin ini cukup bisa diandalkan. Selain itu aku juga cukup rutin konsumsi minuman hangat di mana saja. Untungnya vending machine di Jepang juga menyediakan minuman hangat.


Semua makanan di Jepang memang tidak ada yang gagal. Semua enak. Tapi, mengutip dari respon seorang teman, “Yang gagal dompet kita.” Haha… Memang rasanya murah, bayar pakai koin, harga 3 atau 4 digit. Beda dengan Indonesia yang makanannya sudah seharga 5 digit angka bahkan 6 digit. Tapi jika dirupiahkan tetap saja mahal untuk ukuran rupiah.
Jadi, jika ke Jepang, makanan apa yang mau kamu coba?

