
Wata-wata dari Negeri Tertawa
Ada suatu negeri suram. Semua warna di sana abu-abu. Pondok-pondok abu-abu, pohon serta semua tanaman abu-abu, semua penduduk memakai pakaian abu-abu, dan wajah mereka pun turut suram. Negeri itu dikenal dengan sebutan Negeri Abu-abu. Negeri itu sangat sepi, tidak pernah terdengar suara tawa dan anak-anak yang bermain atau bernyanyi. Hanya suara angin lirih yang meniup daun-daun berwarna abu-abu berguguran.
Raja Ling-Ling dan Ratu Lung-Lung keluar dari purinya yang juga berwarna abu-abu. Mereka merasa bosan namun bingung dengan apa yang akan dilakukan. Mereka hanya jalan-jalan berputar mengelilingi taman bunga yang juga berwarna abu-abu.
“Raja, apa yang harus kita lakukan? Aku bosan merasa sedih dan suram. Apakah ada warna lain selain abu-abu di dunia ini?” tanya Ratu seraya menundukkan kepalanya.
“Aku pun tidak tahu, Ratu. Di Timur, semuanya berwarna putih dan di Barat semua berwarna hitam, lebih suram dari negeri kita,” jawab Raja.
Tak lama berselang, ada seorang petani yang lari tergopoh-gopoh dan berteriak memanggil Raja. Petani ini juga berwajah suram dan pucat keabu-abuan. Raja menunggu hingga petani itu sanggup mengatur nafasnya untuk berbicara.
“Maaf Raja, saya mengganggu. Tapi ada sesuatu hal penting yang ingin saya sampaikan,” akhirnya petani itu sanggup berbicara.
“Ada apa?” tanya Raja Ling-ling penasaran. Mata Ratu Lung-Lung pun menunjukkan rasa penasarannya dan ia siap untuk menyimak.
“Begini Raja, sewaktu saya membajak sawah, ada seseorang asing datang. Tapi dia berbeda. Sepertinya bukan datang dari Timur atau Barat, dia berbeda. Pakaiannya aneh. Topinya runcing, jubahnya berkilauan, warnanya berbeda, dia tidak abu-abu, dan wajahnya pun tampak berbeda dengan kita,” petani itu bercerita, berusaha menjelaskan hal asing yang dilihatnya.
“Berbeda bagaimana?” Ratu Lung-Lung semakin penasaran.
“Ya berbeda saja. Bibirnya tertarik ke atas, suaranya saat berbicara enak didengar, matanya memunculkan cahaya. Sepertinya mata saya menolak untuk berhenti menatap orang asing aneh itu,” petani semakin membuat Raja dan Ratu kebingungan.
“Masih adakah orang asing itu di sekitar sawahmu?” tanya Raja.
“Mungkin dia masih ada Raja, karena tadi saya lihat dia duduk beristirahat di sebuah pondok di pinggir sawah,” jawab petani itu seraya mengusap peluhnya. Ia masih lelah berlari dari sawah menuju puri Raja dan Ratu.
“Bisakah kau panggil dan ajak orang asing itu kemari?” pinta Raja.
“Oh… baiklah Raja. Saya akan coba ajak dia menghadap,” jawab petani itu dan ia pun bergegas kembali ke sawahnya secepat ia sanggup.

Aku… Wata Wata
Aku… suka tertawa
Aku… bahagia
Aku… Wata Wata
Aku… suka bernyanyi
Aku… suka menari
“Permisi…” sapa petani kepada orang asing yang sepertinya tengah sibuk berbicara sendiri.
“Haaaaaaiiiiii….. haloooooooo…..” orang asing itu melonjak dari duduknya dan meraih tangan petani dan memutar tubuhnya. Mau tak mau petani pun ikut berputar mengikuti gerakan tangan orang asing bertopi runcing.
Petani pun terdiam. Menatap orang asing itu tanpa berkata apa-apa. Dia bingung.
Orang asing itu menarik bibirnya ke atas. Ia tersenyum. Petani kemudian mengikuti gerakan orang asing itu, ia menarik bibirnya ke atas juga. Petani itu juga tersenyum. Tapi saat itu, petani tidak tahu apa itu senyum.
Orang asing itu menundukkan badannya dan melepas topi runcing untuk memberi hormat pada petani. “Halo petani yang baik hati. Perkenalkan, namaku Wata Wata dari Negeri Tertawa. Negeriku jauh sekali. Aku datang kemari hanya ingin berlibur,” orang asing yang ternyata bernama Wata Wata itu mengenalkan dirinya.
“Oh. Namaku Dipa. Aku petani di sini,” petani berkata singkat dan matanya tak lepas menatap Wata Wata yang aneh.
“Hai Dipa dari Negeri Abu-abu. Senang sekali bisa berkenalan denganmu. Di sini berbeda ya. Sepi sekali, tidak ada nyanyian, tarian, suara tawa dan tidak berwarna-warni,” Wata Wata berbicara seraya memutar tubuhnya hingga jubahnya melambai-lambai menebar kilau.
“Apa itu tawa? Apa itu nyanyian? Apa itu tarian? Apa itu warna-warni?” tanya Dipa.
Wata Wata lalu terdiam menatap wajah suram Dipa yang dipenuhi peluh. “Kamu tidak tahu?” tanya Wata Wata keheranan. Dipa hanya menjawabnya dengan gelengan kepala.
Setelah beberapa lama Wata Wata dan Dipa berbincang-bincang (hingga membuat Raja Ling-Ling dan Ratu Lung-Lung menunggu dengan dipenuhi rasa penasaran), akhirnya Dipa mengutarakan pesan Raja agar Wata Wata sudi datang ke puri milik Raja dan Ratu. Tak disangka, Wata Wata melonjak kegirangan dan menggandeng tangan Dipa lalu melompat-lompat dan bernyanyi sepanjang perjalanan menuju puri.
Raja Ling-Ling dan Ratu Lung-Lung membelalakkan mata mereka saat melihat Wata Wata untuk pertama kalinya. “Siapa kamu? Dan mengapa kamu berbeda dengan kami?” tanya Raja benar-benar keheranan.
“Aku Wata Wata dari Negeri Tertawa. Aku berbeda karena aku tampak senang dan berwarna-warni,” jawab Wata Wata.
“Apakah kamu penyihir?” tanya Ratu Lung-Lung.
“Oh yaaaaa…. aku penyihir, tapi itu di masa yang lalu. Kini aku sudah tidak lagi melakukan sihir untuk mengubah apa pun. Karena aku bahagia,” jawab Wata Wata dan menanti pertanyaan selanjutnya.
“Bahagia?” Raja dan Ratu terdengar seperti bergumam pada diri mereka sendiri.
“Bahagia itu tertawa. Bahagia itu seperti ada yang membuat tubuh kita melayang terbang, hati seakan tergelitik, bibir tertarik ke atas, dan semua suara terdengar seperti nyanyian,” Wata Wata menjelaskan.
“Apakah kamu bisa menyihir kami menjadi bahagia seperti yang kamu ceritakan barusan?” pinta Raja Ling-Ling.
“Waaahhhh…. seperti sudah kusampaikan tadi, kini aku tidak lagi menyihir. Aku sudah lupa mantranya. Karena aku sudah bahagia, tidak perlu sihir lagi.”
Mendengar hal itu, Raja Ling-Ling, Ratu Lung-Lung, dan juga Dipa menangis semakin bersedih. Awan pun ikut menangis hebat dan deras meski hari itu matahari sangat terik.
Tiba-tiba, muncullah sebuah keajaiban. Ada sebuah lengkungan kaya warna di langit. Sontak saja membuat Wata Wata kegirangan dan berseru, “Pelangiiiiiii….”
Raja, Ratu, dan Dipa mendongakkan kepalanya. Mereka menatap langit dan menghentikan tangisnya. Ada warna lain di langit keabu-abuan. Mereka tidak mengenalinya namun takjub dan terpaku menatapnya.
“Ayo, aku bantu Negeri Abu-abu menjadi bahagia,” Wata Wata mengeluarkan banyak biji-bijian dari kantung yang dibawanya. Ia menyerahkan segenggam pada Dipa, segenggam pada Raja Ling-Ling, dan segenggam lagi pada Ratu Lung-Lung. Raja, Ratu, dan Dipa diam keheranan namun mengikuti apa yang diminta oleh Wata Wata. Ternyata, Wata Wata mengajak mereka menanam bibit bunga warna-warni. Lalu, Wata Wata mengambil beberapa botol dengan 3 cairan warna yang berbeda. Selanjutnya Raja, Ratu, dan Dipa mengetahui warna-warna itu adalah warna merah, biru, dan kuning. Wata Wata mencampur warna-warna itu, dan tadaaaaaaa…… ada warna baru yang dihasilkan dari percampuran warnanya. Wata Wata melaakukan itu semua seraya berdendang.
Merah dan Kuning menjadi Jingga
Merah dan Biru menjadi Ungu
Biru dan Kuning menjadi Hijau
Aku punya warna baru…
Wata Wata buat warna baru…
Hal itu membuat Raja, Ratu, serta Dipa tertarik dan bertanya, “Wata Wata, kamu bicara apa?”
“Ahahahaha… aku sedang menyanyi,” Wata Wata pun tertawa. Lalu ia mengajak Raja, Ratu, dan Dipa mengikuti nyanyiannya sambil menari. Nyanyian dan tarian mereka menarik perhatian penduduk Negeri Abu-Abu lain yang mendengarkan. Mereka datang menghampiri dan mengikuti irama nyanyian dan tarian Wata Wata. Ajaib! Mereka semua mulai tersenyum. Wata Wata lalu memberi mereka segenggam bibit bunga untuk ditanam. Lalu Wata Wata pun pamit untuk pulang.
Raja, Ratu, serta penduduk Negeri Abu-Abu lainnya kembali merasa sedih karena tidak ada lagi yang mengajak mereka menyanyi. Tetapi Dipa si petani mulai menmahami maksud Wata Wata. Mulailah Dipa mencoba berdendang dan menggerakkan tubuhnya. Penduduk lain pun mengikutinya dan mereka tertawa bersama. Namun negeri masih berwarna abu-abu.
Keesokkan harinya, Wata Wata kembali, kali ini ia membawa banyak teman dengan jubah warna-warni dari Negeri Tertawa. Mereka datang ke Negeri Abu-Abu dengan membawa banyak kantung berisi botol cairan kental warna-warni yang disebut ‘cat’, kuas, dan banyak sekali kain berwarna indah. Mereka membantu Negeri Abu-abu berubah menjadi Negeri Warna-Warni. Teman-teman Wata Wata mewarnai seluruh pondok dan juga puri dengan cat warna-warni yang dibawanya, serta menjahit gaun dengan kain berkilauan dan berwarna indah. Hal tersebut menggugah para penduduk Negeri Abu-abu untuk melakukan hal yang sama. Mereka membantu negeri mereka sendiri agar berubah, tanpa perlu sihir.
Perasaan bahagia mulai bermunculan di Negeri Abu-abu karena melihat warna-warna yang berbeda yang membuat perasaan pun menjadi berbeda. Mereka mulai menyanyi dan menari dengan lepas mengekspresikan perasaan bahagia yang mereka rasakan. Tak berapa lama, tiba-tiba ada seorang anak yang berteriak, “Hai lihaaaaattttt…. Ada bunga berbeda tumbuh. Dia tidak abu-abu, dia berwarna lain!” Dan semua orang pun menghampiri lalu tersenyum. Satu persatu bunga warna-warni mulai tumbuh dari bibit yang sudah ditanamkan. Semua penduduk Negeri Abu-abu -sekarang Negeri Warna-Warni- pun mengucapkan terima kasih banyak pada Wata Wata dan teman-temannya yang sudah jauh-jauh datang dari Negeri Tertawa untuk membantu. Di Negeri Warna-Warni kini semua penduduknya semakin senang bekerja sama membuat negerinya indah. Mereka mencintai prosesnya yang panjang dan menikmati hasilnya yang indah.
* Cerita ini terinspirasi dari buku berjudul ‘Belgeduel si Cemerlang’


One Comment
resti
ijin untuk mendongengkan ini ke anak-anak paud ya