
Belajar Menjadi Orangtua
Aku memiliki dua peran yang membuatku bisa memahami sulitnya menjadi guru anak usia dini di sekolah dan menjadi ibu seorang anak usia dini di rumah. Aku paham ketika memang ternyata anak di rumah sulit menuruti apa yang diucapkan ibunya ketimbang hal yang disampaikan oleh gurunya. Meskipun aku juga guru, aku juga mengalami sulitnya mengelola emosi saat anak tantrum di rumah. Aku terkadang lebih merasa bisa konsisten dengan 20 anak di sekolah dibandingkan mengurus satu anak di rumah. Aku paham. Di rumah dan di sekolah bisa membuat perilaku anak menjadi sangat berbeda, dan tentu saja tidak semua yang sukses diterapkan di kelas, bisa sukses juga dilakukan di rumah pada anak sendiri.
Meskipun sedikit banyak aku sudah memiliki bekal ilmu perkembangan anak sebagai guru, tidak pula serta merta membuat aku menjadi orangtua yang sukses menghadapi tingkah laku anak. Aku masih banyak perlu belajar serta mengimbangi semua pengetahuan perkembangan anak dalam konteks yang berbeda. Ternyata luar biasa ya. Banyak ilmu parenting, psikologi anak, perkembangan dan pertumbuhan yang perlu dipelajari oleh seorang ibu dan juga ayahnya tentu saja.
Sebagai orangtua, tentunya setiap pasangan ayah dan ibu memiliki ‘standar’ hal yang ingin dicapai oleh anak-anaknya. Standar itu tentu saja bisa sangat berbeda tergantung dengan nilai-nilai yang dipegang. Namun apa yang seharusnya dilakukan terlebih dulu? Bagaimana mengajak anak menjadi sholeh, bahagia, cerdas, baik hati, dan sebagainya?
Belum banyak sekolah menjadi orangtua, meskipun ada, namun mungkin masih banyak pula keterbatasan dalam segala sisi yang membuat banyak orangtua masih sulit mengaksesnya untuk belajar. Orangtua tentunya ingin menyesuaikan ilmu-ilmu parenting dengan nilai-nilai keluarga yang dipegangnya. Cocok atau tidaknya rasanya seperti memilih jodoh. Aku sendiri lebih banyak belajar melalui berbagai buku-buku parenting yang kupilih sendiri. Beberapa buku yang kupilih dan kubaca mungkin bisa dijadikan referensi belajar para orangtua.

Ingin anak menjadi sholeh dan disiplin? Tentunya orangtuanya dulu yang harus menjadi teladan. Buku ini semakin membuka pikiranku bahwa jika ingin anak menjadi sholeh tentunya harus menjadi orangtua yang sholeh dulu. Di buku ini ada banyak cerita dan contoh kasus yang terjadi dalam keluarga yang umum terjadi dan bisa dijadikan cerminan. Apa yang dapat kita sebagai orangtua dapat lakukan jika tidak ingin mengalami kisah buruk tersebut, atau apa latar belakang anak dapat berbuat sangat baik. Buku ini perlu dibaca secara berurutan dari buku pertama dan kedua. Jika tidak, pemahaman tidak akan utuh dan bisa membuat kita menjadi orangtua yang otoriter.
Di buku ini dicantumkan perilaku orangtua yang dianggap biasa, pesan yang juga biasanya disampaikan namun juga dicantumkan internalisasi atau hal yang ditangkap dan dipahami oleh anak. Selain itu terdapat pula daftar perilaku anak serta penyebab pola asuh yang membentuk perilaku tersebut. Hal inilah yang membuat orangtua (aku) kemudian bercermin dan mencoba membuat perbaikan komentar agar internalisasi ke anak lebih baik.
Di buku kedua, diharapkan orangtua sudah membaca buku pertama. Sehingga dapat dilanjutkan untuk membuat anak menjadi disiplin tapi juga tetap bahagia. Nah untuk membuat anak menjadi bahagia, tentunya orangtua juga harus bahagia kan?

Jadi, sebelum banyak berharap anak-anak kita menjadi anak yang begini dan begitu, alangkah baiknya kita menjadi orangtua yang bahagia terlebih dahulu. Karena emosi orangtua lebih cepat menular pada anak dibandingkan virus terganas manapun juga. Sehingga sangat penting untuk selalu merasa bahagia saat mendampingi tumbuh kembang anak.
Buku ini ditulis oleh ibu Aisya, psikolog kenamaan dari Bandung. Tempatku konsul ini dan itu mengenai penerapan pola asuhku di rumah. Dan aku tidak ingin hanya sekedar kebetulan menjadi orangtua karena telah memiliki anak. Aku ingin menjadi orangtua yang betul-betul membuat perencanaan tujuan dari pengasuhanku di rumah. Orangtua bisa menjadi sumber utama stres bagi anak dan tentu saja hal itu perlu dihindari.
Bu Aisya menuliskan formula-formula menjadi orangtua yang bahagia dalam buku ini. Yang pertama adalah formula untuk mengenal diri, lalu mengelola emosi, dan formula kelekatan. Formula-formula ini sangat aplikatif dan mudah untuk dipraktekkan, serta menjadi pengingat untukku dalam bersikap. Setelah membaca buku ini, aku juga berkesempatan mengikuti seminar dan pelatihan pengelolaan emosi anak. Aku belajar membedakan emosi dan strategi anak dalam mencari perhatian orangtua serta respon tepat yang dibutuhkan oleh anak.

Pengelolaan emosi menjadi formula penting setelah orangtua mengenali dirinya. Dan marah adalah emosi yang kerap lepas. Aku juga merasa bahwa aku sering marah. Secara wawasan, aku paham bagaimana seharusnya aku bersikap, namun seringkali emosi marah keluar begitu saja sebagai bentuk respon dari perilaku anakku di rumah yang tidak sesuai dengan harapan. Sehingga tentunya aku perlu memperkaya caraku mengelola marah. Marah tentu saja boleh, tapi bukan berarti aku menjadi ibu yang selalu marah-marah kan? Marah tentunya perlu dikeluarkan dengan bijak. Anak mengetahui alasan orangtuanya marah dengan jelas dan tidak bingung dengan penerapan disiplin yang diberikan. Benar-benar harus banyak belajar. Karena sesungguhnya anak adalah manusia hanya ukurannya lebih mini saja. Perasaannya tentu akan terluka jika orangtuanya marah.

Anak bukan barang dengan buku panduan penggunaan. Bukan pula robot yang tinggal kita pencet tombol untuk mengoperasikannya. Anak juga manusia sama dengan orangtuanya, titipan Tuhan yang harus diperlakukan dengan sangat baik melebihi apapun. Karena anak adalah manusia, tentunya akan lebih sulit dalam mengelolanya. Namun sebagian besar masalah yang muncul dalam pengelolaan anak adalah karena kita sebagai orangtua yang belum berhasil mengelola diri sendiri.
Dalam buku ini, banyak sekali terdapat quote dan puisi yang menjadi bahan renungan diri sebagai orangtua. Yang menjadikan aku sebagai orangtua kemudian berpikir dan memikirkan segala hal dari sisi anak.

Little Wisdom adalah kumpulan ungkapan polos anak terhadap perilaku orangtuanya. Perkataan, respon, dan komentar anakku di rumah banyak yang serupa seperti yang diceritakan di buku ini. Saat membaca buku ini, aku seakan-akan mendengarkan anakku yang berbicara padaku. Kata-kata yang dilontarkan oleh anak, banyak sekali yang menjadi renunganku saat melakukan pengasuhan sehingga aku kemudian memilah-milah kembali hal yang baik untuk dilakukan atau harus dihindari dalam pengasuhan di rumah.

Aku memilah perilakuku dan membaca buku mengenai kesalahan orangtua dalam mendidik anak di rumah. Saat membaca buku ini, aku semakin sadar bahwa respon dan ungkapan secara verbal yang cukup banyak memberikan pengaruh pada anak. Baik pengaruh positif maupun negatif. Sehingga jika ingin anak mendapatkan banyak pengaruh positif, maka ungkapan yang perlu disampaikan hendaklah selalu positif. Lalu, bagaimana caranya jika anak berperilaku negatif? Ini yang aku perlu banyak belajar, mengubah larangan dan peringatan dengan bahasa yang baik.
Harapan-harapan orangtua pada anak tentu perlu menjalani proses yang sangat panjang. Proses tersebut adalah proses orangtua belajar. Bukan melulu anak yang perlu belajar membaca agar memenuhi keinginan orangtua yang ingin anaknya bisa membaca, misalnya. Tetapi proses orangtua belajar mengenai tahapan perkembangan anak yang sudah disusun oleh Tuhan sedemikian rupa. Anak kita adalah manusia, bukan barang karbitan yang secara instan bisa tiba-tiba sempurna. Ada tahapan-tahapan yang penting untuk orangtua ketahui saat ingin anaknya mencapai suatu kompetensi tertentu.

Sejak masih di dalam kandungan, Tuhan telah merancang tahapan-tahapan kemampuan janin dalam belajar. Janin mampu memberi respon
melalui tendangan misalnya, segala stimulasi yang diberikan oleh orangtuanya. Saat dilahirkan, secara alami anak akan mencapai kompetensi tertentu di setiap usianya. Tengkurap di usia 3 bulan, merangkak di usia 6 bulan, dan seterusnya. Bagaimana orangtua dapat memberi stimulasi yang tepat pada anak jika tahapan secara alaminya saja orangtua tidak tahu? Bagaimana orangtua dapat mengetahui anaknya perlu segera mendapat penanganan khusus melalui terapi jika tidak memiliki ilmu mengenai perkembangan anak yang normal? Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, aku mulai banyak belajar mengenai perkembangan janin dan bayi melalui buku seri Growing Up. Aku tidak ingin memberi penanganan yang terlambat jika ada perkembangan yang tidak normal dan membuatku menyesal di kemudian hari. Karena efek dari terlambat bicara, tidak merangkak, memiliki keterpakuan terhadap objek, dan banyak hal lainnya memberi pengaruh yang cukup panjang pada perkembangan selanjutnya. Jadi jangan dianggap enteng.

Awalnya, aku belajar tahapan perkembangan bayi dari data yang diberikan seorang teman psikolog. Bulan demi bulan aku mencocokan semua hal yang bisa dilakukan oleh anakku dengan data tersebut, membuat rencana kegiatan eksplorasi dan sensori yang menyenangkan sebagai pengalaman main anakku di awal kehidupannya. Kemudian aku menemukan dua buku ini dijual secara online dan menambah pengetahuanku mengenai sensori anak. Buku ini berisi pemaparan penting mengenai sensori dan perkembangan anak dengan bahasa sederhana yang mudah dipahami oleh orang awam. Di kedua buku ini juga banyak diberikan contoh kegiatan stimulasi yang bisa dilakukan di rumah dengan memanfaatkan barang yang semuanya ada di rumah.

Sebagai guru, seringkali aku melihat bahwa perkembangan motorik anak sangat besar kaitannya dengan kemampuan anak dalam memfokuskan diri yang akibatnya terlihat dari kemampuan anak ketika memproses informasi penting. Namun jaman yang kian berubah membuat banyak anak generasi terkini lebih banyak bermain dengan perangkat gadgetnya, area lapangan luas dan bermain di luar ruangan semakin terbatas, hingga polusi udara yang makin parah membuat anak semakin jarang bermain di luar ruangan. Padahal kebutuhan anak untuk bergerak sangat penting. Ternyata, semakin dipelajari semakin banyak yang kuketahui tentang rentetan akibat dari belum tuntasnya permasalahan motorik terutama motorik kasar.
Buku tuntas motorik banyak menjelaskan contoh kasus yang terjadi dan kaitannya dengan permasalahan motorik yang dipastikan belum tuntas terkembangkan. Sejak membaca buku ini, aku semakin lebih banyak mengajak anakku untuk melakukan kegiatan yang banyak melibatkan gerak di luar maupun di dalam ruang.
Lalu, bagaimana jika sebagai orangtua kita berharap anak bisa lekas bisa membaca, misalnya? Buatku, sesuatu yang lekas dikuasai belum tentu selalu baik. Mampu membaca secara teknis merupakan keterampilan yang bisa didapatkan secara bertahap. Buatku, menumbuhkan minat di awal kehidupan anak terhadap kegiatan membaca sangat penting. Aku memang jelas memimpikan anakku bisa bergantian membacakanku dongeng sebelum tidur suatu saat nanti, jadi aku sekarang selalu membacakan bebagai buku cerita menarik untuknya. Untuk urusan membaca secara teknis, aku mulai bermain tebak kata dengan anakku yang masih berusia 3 tahun. Tebak kata dengan deskripsi yang kuberikan, main gagarudaan (kamu tahu apa itu gagarudaan?) dan mencari kata yang diawali dari huruf vokal saja. Selain itu, aku mengenalkan bahwa suatu bentuk-bentuk tulisan yang tertera di manapun memiliki makna yang bisa dibaca, mengajak anakku membaca gambar di buku dan membuat prediksi cerita. Apa aku juga mengenalkan huruf? Belum. Tapi anakku mulai bertanya dan mulai mengenal bahwa bentuk-bentuk abstrak yang dilihatnya merupakan susunan huruf.

Buku ini kubaca dan kupraktekkan di sekolah. Dan mungkin nanti saat sudah tiba waktunya aku akan mencobanya di rumah. Buku ini berisi langkah praktis belajar membaca dengan metode peta pikiran (mindmap). Jika kamu benar-benar mengenal caraku bekerja, pasti akan tahu mengapa aku sangat menyukai buku ini. Buku ini sangat praktis, mudah dilakukan di rumah dengan memanfaatkan banyak barang dan mainan yang ada di rumah.
Jadi, apakah dengan membaca dan menamatkan buku-buku itu lantas membuat aku lebih baik sebagai orangtua? Tidak juga. Kupikir, menjadi orangtua adalah seperti profesi yang perlu belajar sepanjang hayat. Tidak hanya menunggu ilmu warisan pengasuhan anak yang dilakukan turun temurun, karena tentu jamannya sudah berbeda dengan jaman orangtua kita dan kakek nenek dulu. Sebagai orangtua, aku merasa perlu banyak belajar dan dengan membaca buku adalah salah satu caranya. Aku pun kerap mengikuti seminar atau pelatihan pengelolaan emosi anak, nutrisi makanan anak, dan beberapa pelatihan lain yang tentu saja perlu terus diupgarde ilmunya. Jika tidak, semua akan tetap menjadi sekedar teori.
Aku menulis ini ketika, saat menjelang usia anakku 4 tahun, ia kembali sering tantrum. Aku belum menemukan sebabnya karena entah mengapa semua pertanyaanku hanya dijawab dengan ‘gak mau’ oleh si-anak-menjelang-4-tahun. Apakah ini sebuah siklus wajar yang berulang? Harusnya tidak begitu, menurut seorang psikolog. Dan pasti ada alasan dibalik tantrum-tantrumnya, yang bisa jadi alasan tersebut adalah kesalahan aku dan suami sebagai orangtua. Atau mungkin lingkungan terdekat yang memberi pengaruh.

Aku kembali membaca buku ini untuk membantu mengingat hal yang perlu kulakukan saat menghadapi amukan tak berujung. Membaca buku ini seakan aku meminta dukungan pihak lain untuk menguatkanku apalagi saat suami sedang tidak ada di rumah. Aku kembali memilah perilaku anakku, mana yang benar-benar emosi sedih dan marah, serta perilaku mana yang hanya strategi untuk melonggarkan aturan. Pola asuh yang baik memang pola asuh yang kompak antara semua pihak, ini yang sedang diusahakan. Mengelola emosi orangtua sangat penting agar mampu mengelola emosi anak, ini yang selalu membuatku belajar. Aku bukan ingin membuat anakku sempurna, aku hanya ingin menjadi orangtua yang baik yang terus belajar untuk memberi pengasuhan yang terbaik untuk anakku di rumah.

