Books & Stories

Gadis Bahagia, Ksatria, dan Surat dari Tuhan

Gadis Bahagia, setiap hari bangun dengan bintang di mata dan bunga di hati. Burung-burung tak ragu bertengger menyanyi di kepalanya, ikut bergerak menyelaraskan dengan ayunan langkah kaki Gadis Bahagia ke arah bukit Matahari di Timur negeri.

Sesampainya Gadis Bahagia di bukit, ia duduk di antara rerumputan yang tinggi. Kepalanya nyaris tenggelam tak kelihatan. Gadis Bahagia duduk menanti matahari sampai bentuknya sempurna. Ia sabar menanti dengan senyum yang terus disunggingkan. Burung-burung sesekali terbang berputar di atas kepalanya dan hinggap lagi di kepala.

Rasanya, matahari hari ini lebih lambat datang dari biasanya. Jalanan biasanya belum macet, mungkin ia kehabisan tiket kereta. Gadis Bahagia menanti dengan gembira, ia mengisi waktunya dengan menari-nari di bukit menikmati tiupan angin pagi yang membelai gaunnya. Tetiba Gadis Bahagia menemukan bunga rumput liar yang indah, warnanya biru benderang tak seperti bunga lainnya. Bunga rumput itu tersenyum pada Gadis Bahagia, ia mengangguk-anggukkan mahkotanya meminta untuk dipetik. Gadis Bahagia membalas senyumannya dan membelai bunga rumput liar kemudian memetiknya perlahan. Gadis Bahagia akan memberikan bunga rumput liar itu pada matahari saat ia datang.

Udara di atas bukit Matahari terasa semakin hangat, matahari sudah semakin besar mendekati sempurna. Gadis Bahagia berlari ke tepian bukit, menyongsong datangnya matahari, ia kemudian tersenyum pada matahari, mengulurkan tangan untuk menyisipkan bunga rumput liar di telinga Matahari lalu mengajaknya bermain bersama hingga senja datang. Gadis Bahagia bertemu dengan bunga warna-warni yang baik hati. Mereka berkata pada Gadis Bahagia bahwa mahkotanya boleh dipetik untuk dijadikan kalung warna-warni. Gadis Bahagia lalu memetik semua warna dan menjalinnya menjadi sebuah kalung.

Gadis Bahagia lari ke arah Barat. Ia ingin bertemu dengan temannya yang lain bernama Senja. Dengan kalung bunga di tangan kanannya, dan tangan kirinya menggenggam lengan Matahari pagi yang akan pulang. Gadis Bahagia tersenyum mengantar kepulangan Matahari dan ia duduk di bukit Barat menanti senja. Rasanya lama sekali.

Saat bertemu Senja, Gadis Bahagia terlihat kecewa. Senja tak berkepala. Bagaimana caranya ia dapat mengalungkan bunga? Gadis Bahagia termenung mencari cara. Tetiba Senja berkata, “Aku tidak punya uang, aku membayar kereta dengan kepala untuk bertemu denganmu.” Gadis Bahagia terharu. Ia tersenyum dan mengucapkan terima kasih sepenuh hati.

Gadis Bahagia dan Senja tak berkepala bermain bersama. Mereka menanti bulan, pun bintang. Lama sekali. Tetiba angin bertiup lebih kencang, suaranya keras. Gadis Bahagia berkata, “Angin jangan berteriak!” Lalu, Gadis Bahagia terpaku saat yang datang bukannya bulan, pun bintang tetapi awan dan hujan. Gaun Gadis Bahagia kuyup, rambutnya layu tapi ia tetap terpaku. Perlahan, Senja tak berkepala pergi pulang. Gadis Bahagia kuyup sendirian.

Awan berkata bahwa dirinya mengantarkan ribuan pesan di dalam hujan. Gadis Bahagia kemudian tersenyum semakin merona. Perlahan dipecahkannya titik-titik hujan dan ia mendengarkan suara kekasihnya. Matanya menerawang saat mendengarkan cerita dan nyanyian kekasihnya. Bibirnya semakin lebar menyunggingkan senyumannya ketika suara kekasihnya berkata bahwa dirinya akan segera pulang.

Gadis Bahagia mengembalikan titik-titik hujan ke dalam awan. Mengucapkan terima kasih hingga membungkukkan badannya kemudian ia kembali menari di bukit Barat. Gadis Bahagia terus menari mengitari bukit hingga ia tidak sadar awan dan hujan telah pergi. Langit pun semakin gelap. Gadis Bahagia pun tak sadar dirinya diamati bulan dan bintang yang baru saja datang menggantikan hujan. Bulan dan bintang tersenyum. Bunga-bunga di hati Gadis Bahagia pun semakin bermekaran. Gadis Bahagia kemudian berbisik pada angin, “Tolong tiupkan angin kencang pada layar kekasihku, supaya ia cepat tiba di sini,” Gadis Bahagia menunjuk hatinya. Ia ingin kekasihnya cepat kembali pulang ke hatinya. Rumah yang sebenarnya. Hati Gadis Bahagia semakin berbunga.

…..

Satu hari, seminggu, dua minggu.

Hingga kini Gadis Bahagia masih saja dengan matanya yang berbintang dan hatinya yang berbunga. Ia menunggu kekasihnya pulang.

Pagi ini, Gadis Bahagia bangun dengan kicauan burung di atas kepalanya. Berdandan cantik lalu berjalan menuju bukit Matahari di timur negeri. Di atas bukit ia berjinjit. Matanya menerawang dan menyusuri laut yang terlihat dari bukit. Tetiba Gadis Bahagia tersenyum, ada titik kecil kapal layar yang dilihatnya. Gadis Bahagia kemudian berlari menuruni bukit menuju pantai. “Kekasihku pulang!” hatinya menjerit senang.

Di tepi pantai, Gadis Bahagia duduk di atas batu karang. Gaunnya melayang tertiup angin pagi di pantai. Sesekali Gadis Bahagia berdiri. Berteriak memanggil nama kekasihnya. Ksatria. Satu jam, dua jam, tiga jam. Gadis Bahagia begitu setia menanti. Perlahan titik kecil kapal layar semakin jelas terlihat. Gadis Bahagia melompat. Mendekat. Ia lalu berlari menuju dermaga dengan tertawa bahagia. Tak sadar Gadis Bahagia menabrak beberapa orang yang berjalan sama-sama menuju dermaga. Tatapannya melekat. Satu persatu dilihatnya orang-orang yang turun dari kapal layar sambil tersenyum. Gadis Bahagia pun tersenyum. Namun, semakin lama senyumnya meluntur. Ksatria kekasihnya tidak ada. Gadis bahagia kemudian pulang. Ia akan kembali senja nanti.

Senja tak berkepala datang menyapa. Senja masih memakai kalung bunga buatan Gadis Bahagia. Kalungnya sudah layu dan tidak lagi wangi. Senja mengajak Gadis Bahagia pergi ke dermaga menjemput Ksatria. Gadis Bahagia bergegas dengan gaunnya yang cantik menuju dermaga. Gadis Bahagia menyenandungkan lagunya bersama Ksatria. Sesampai di pantai, Gadis Bahagia duduk lagi di batu karang yang sama. Senja tak berkepala berteriak agar Gadis Bahagia tidak berhenti berlari. Gadis Bahagia tersenyum dan berkata, “Aku lelah berlari, tapi aku belum lelah menanti. Tunggu sebentar.” Senja kemudian kembali menghampiri.

Tak berapa lama, titik kecil kapal layar terlihat mendekat. Gadis Bahagia melonjak. Ia lalu berlari mendekati dermaga. Satu jam, dua jam, tiga jam. Seperti katanya, Gadis Bahagia belum lelah menanti. Setahun sudah Gadis Bahagia menanti kekasihnya, Ksatria, pulang ke hatinya. Kini penantiannya akan segera berakhir. Semoga. Kapal layar semakin berdekat. Tatapan Gadis Bahagia kembali melekat. Pada satu persatu orang yang perlahan turun disambut keluarga dan kekasih mereka. Gadis Bahagia gelisah. Mata teduh Ksatria belum juga menemukan matanya. Senja tak berkepala ikut gelisah, dirinya sudah harus pulang. Senja tak berkepala menatap Gadis Bahagia yang masih saja sabar tersenyum menatap kapal layar yang sudah mulai sepi. Lalu Senja berpamitan pulang dan berjanji akan mengunjunginya lagi. Gadis Bahagia memeluk Senja sebelum berpisah. Melambaikan tangannya sambil berdoa, “Semoga kekasihku Ksatria selamat sampai hatiku dan tidak tersesat.” Gadis Bahagia kemudian pulang.

Bintang dan Bulan menyambut Gadis Bahagia pulang. Bulan dan Bintang sudah berdiri di depan pintu pondok Gadis Bahagia sedari tadi. “Dari mana saja kamu?” tanya Bintang. “Aku dari dermaga menunggu Ksatria katanya ia mau pulang. Tapi ia belum juga datang.” Gadis Bahagia kemudian termenung dan melanjutkan, “Lalu aku berdoa sepanjang jalan pulang, aku takut Ksatria kekasihku tersesat dan tak kembali pulang.”

Bulan dan Bintang memandang iba. Tapi mereka diam seribu bahasa. Bulan dan Bintang menemani Gadis Bahagia hingga terlelap. Panasnya udara malam ini, membuat Gadis Bahagia tidur dengan jendela terbuka. Ia menikmati hembusan angin malam yang meniup tirai jendela kamarnya.

…..

Di seberang lautan di sebuah pulau kecil nan elok. Ada seorang lelaki tampan yang dinanti pulang kekasihnya. Dialah Ksatria, kekasih Gadis Bahagia. Ternyata Ksatria belum juga naik kapal layarnya. Ia masih saja berpesta dengan sesosok Malaikat cantik di sampingnya. Ksatria mengucap janji-janji serta sumpah indah seperti yang ia lakukan sebelumnya pada Gadis Bahagia. Ksatria berkata pada Malaikat bahwa ia ingin menjadi Raja. Mengubah tamengnya menjadi mahkota serta singgasana. Dan akhirnya, Ksatria berkata, “Aku membutuhkan sesosok Malaikat cantik nan kuat sebagai pendampingku meraih segala. Bukan gadis cilik lemah yang hanya sekedar suka bermain, tertawa dan menari bahagia.” Ksatria pun berjanji akan kembali ke pulau elok menemui Malaikat setelah ia pulang ke negerinya. Ksatria memeluk Malaikat erat lalu berjalan perlahan menuju kapal layarnya.

Di atas kapal layarnya, Ksatria menyusun kata dan rencana di otaknya. Entah apa.

…..

 

Dalam tidurnya yang lelap, Gadis Bahagia memeluk rindunya yang menggembung untuk kekasihnya. Akan ia serahkan semuanya ketika kekasihnya kembali. Dibayarkan lunas.

Tetiba di tengah malam, Tuhan datang masuk melalui jendela kamar Gadis Bahagia yang terbuka. Tuhan datang mengendap-ngendap takut membangunkan Gadis Bahagia. Tuhan menyimpan sepucuk surat penting di atas meja di sudut kamar tidur Gadis Bahagia. Kemudian Tuhan membelai sayang Gadis Bahagia sebelum beranjak terbang.

Menuju dini hari angin di luaran semakin bertiup kencang. Tirai jendela kamar Gadis Bahagia terbang-terbang, daun jendela pun membentur-bentur kencang. Angin yang sangat kencang itu bertiup hingga membuat surat dari Tuhan melayang dan mendarat di kolong tempat tidur.

Gadis Bahagia terbangun, ia beranjak dan berniat menutup jendela kamarnya. Niatnya tetiba hilang ketika Gadis Bahagia melihat awan serta rintik hujan. Gadis Bahagia tersenyum, mungkin awan dan hujan akan kembali menyampaikan pesan. Gadis Bahagia menanti, namun awan dan hujan tak juga menghampiri. Kantuk Gadis Bahagia datang kembali. Ia menutup jendela kamarnya dan kembali terlelap.

Pagi hari, pintu pondok Gadis Bahagia diketuk oleh Matahari Pagi. Gadis Bahagia melonjak senang karena ia berniat untuk pergi lagi ke dermaga. Ia membukakan pintu mempersilakan Matahari Pagi masuk untuk menghangatkan pondoknya. Setelah bersiap mempercantik diri, Gadis Bahagia pergi berpamitan pada Matahari Pagi. Ia pergi ke dermaga sendiri dan meminta bantuan Matahari menjaga pondoknya dan menyambutnya pulang nanti.

Gadis Bahagia berlari ke arah dermaga menembus gerimis. Matahari hanya bersinar di dalam pondoknya. Dengan terus bersenandung, Gadis Bahagia berlari kencang sambil memeluk berkantung-kantung rindu untuk Ksatria kekasihnya. Gaunnya melambai dan sesekali tersingkap tertiup angin. Gadis Bahagia langsung menuju dermaga tanpa berbelok untuk duduk di atas batu karang. Ia kemudian duduk di bangku penuh harap. Matanya berbintang, hatinya berbunga dengan tangannya yang penuh memeluk rindu.

Satu jam. Dua jam. Tiga jam.

Gadis Bahagia menanti penuh harap dan doa-doa tak lekang dari bibirnya. Semoga Ksatria kekasihnya tidak tersesat kembali ke hatinya. Gadis Bahagia meyakinkan dirinya kekasihnya tidak tersesat. Karena setahun lamanya, sudah ada 365 surat cinta yang ia kirimkan untuk kekasihnya, semua beralamat dari hatinya. Pasti Ksatria sudah hafal alamatnya meski hanya ada sekitar 150 surat balasan saja yang Gadis Bahagia terima. Sisanya, terkadang Ksatria hanya menyampaikan pesan singkat melalui awan dan titik-titik hujan.

…..

Di dalam pondok Gadis Bahagia, Matahari Pagi membantu merapikan pondok. Matahari Pagi menyapu dan memasak. Tetiba matanya terbelalak, ada surat tergeletak dengan pengirim atas nama Tuhan. Bukannya lancang, tapi Matahari Pagi hanya penasaran. Ia membuka amplop surat dari Tuhan. Dan tetiba saja Matahari Pagi menangis sambil memeluk surat itu.

Tuhan berkata dalam suratNya:

Wahai Gadis Bahagia kesayanganku.

Selama ini kamu bersandar pada tanganKu yang salah. Aku sudah banyak memberimu isyarat dan pertanda tapi kamu tak juga percaya.

Gadis BahagiaKu tercinta, Ksatriamu itu memiliki tameng palsu seperti kataKu dan dia akan menyia-nyiakan kasih sayang serta penantianmu.

Lebih jelasnya, kekasihmu itu tidak abadi. Dia bukan jodohmu. Silakan berpindah dan mencari pada tanganKu lainnya.

Salam sayangKu,

Tuhanmu yang setia memelukmu.

Matahari Pagi terus menangis. Membayangkan penantian sia-sia Gadis Bahagia. Ketika Matahari Pagi berniat berlari menyusul Gadis Bahagia ke dermaga, ia menyadari waktunya hampir habis. Waktu berjalan begitu cepat hingga Senja tak berkepala hampir tiba. Matahari Pagi kemudian pulang masih dengan mata yang terus menangis serta hati teriris.

…..

Sementara itu di tengah lautan. Ksatria mengeluarkan 365 lembar surat berukuran besar-besar. Semuanya dari Gadis Bahagia beralamat di lubuk hatinya. Ksatria kemudian melipat semua surat itu satu persatu dan menjalinnya menjadi sebuah perahu kertas. Ksatria mengurungkan niatnya untuk pulang ke negeri asalnya dan memang ia ternyata tidak berniat sama sekali pulang menuju hati Gadis Bahagia.

Ksatria menyeret perahu kertas besar buatannya. Ia melemparnya ke lautan dan diikuti dirinya yang melompat menaiki perahu itu. Ksatria mendayung perahunya berlawanan arah dan kembali menuju Pulau Elok. Ksatria memilih untuk bersama Malaikatnya.

…..

Di dermaga dengan ratusan manusia. Gadis Bahagia mulai menitikkan air matanya. Dengan rindu yang berada dalam peluknya, ia mengucapkan doa. “Tuhan, kembalikan Ksatria padaku.” Tapi Tuhan sudah merasa mengirimkan surat maha penting untuk Gadis Bahagia dan seharusnya sudah dibaca. Tuhan sedang menjalankan tugasNya yang lain.

Satu titik tertangkap oleh pandangan mata Gadis Bahagia. Ia melonjak dan menghapus air matanya. Semakin titik itu mendekat, semakin kencang debaran jantung Gadis Bahagia, semakin erat ia memeluk kantung rindu untuk kekasihnya. Saat kapal layar berlabuh di dermaga, Gadis Bahagia langsung berlari dan memaksa untuk naik. Gadis Bahagia berteriak memanggil Ksatria kekasihnya. Tak ada yang menyahut. Gadis Bahagia kemudian bertanya tentang nama penumpang bernama Ksatria. Ada. Matanya semakin berbinar. Gadis Bahagia menunggu di pintu kapal. Satu persatu orang turun, Gadis Bahagia mengamati semua. Mata teduh Ksatria belum juga bertemu binar matanya. Hingga kapal layar kosong. Gadis Bahagia tetap menanti. “Ada penumpang bernama Ksatria di sini dan aku akan menanti,” ucapnya dalam hati.

…..

Langit tetiba gelap. Air laut membentuk gulungan ombak besar. Perahu kertas Ksatria terus berjuang menuju Pulau Elok. Demi Malaikat, Ksatria terus berjuang sendirian. Sementara itu Malaikat tidak juga menanti Ksatria datang cepat-cepat. Toh Ksatria sedang dalam perjalanan pulang ke negerinya. Ksatria mengatur laju perahu kertasnya, memerintahkan awan tidak mengutus petir untuk datang sekarang. Tapi awan semakin gelap tampak marah entah mengapa. Ksatria jengkel. Perahu kertasnya yang awalnya kuat tetiba robek di sana dan di sini. Ksatria mulai panik tapi ia terus berjuang.

…..

Gadis Bahagia menangis lagi. Ia kini menolak ketika ada yang menyapanya dengan sebutan Gadis Bahagia. Si Gadis berlari pulang ke pondoknya. Sendirian. Tanpa memperhatikan sekitar ia langsung menuju kamar dengan tetap memeluk berkantung-kantung rindu yang terus saja menggelembung. Kemana kekasihku? kapan ia pulang ke rumahnya di hatiku? Berjuta tanya menyesaki hati dan otaknya.

Perlahan bunga-bunga di hati si Gadis mulai layu. Binar bintang di matanya meredup dan burung-burung tak lagi hinggap di atas kepalanya. Semua isi hati dan otaknya hanya ada kepingan-kepingan Ksatria yang tidak lagi berwujud utuh.

Mengapa kamu ingkar Ksatria? Mengapa kamu tak pulang? Kamu janji pergi dan akan kembali. Apakah kamu tersesat? Baca lagi 365 lembar suratku, di amplopnya tertuliskan alamat hatiku. Jika kamu mengikutinya, kamu tidak akan tersesat.

Si Gadis berbicara sendiri. Tatapan matanya kosong. Hatinya perlahan melolong, sakit karena menahan rindu yang menyesak.

…..

Matahari Pagi mengetahui sebuah rahasia tapi ia tak sanggup bicara. Senja tak berkepala sedang sibuk tak sempat mengunjungi si Gadis dan menemani. Awan dan Hujan menjadi saksi, Ksatria yang berpindah dari kapal layar ke perahu kertas. Dunia seakan berubah, sejak Gadis Bahagia tak lagi ceria. Gadis Bahagia berubah menjadi gila.

…..

Perahu kertas milik Ksatria semakin oleng. Perlahan air laut masuk menggenangi dasar perahu. Tapi Ksatria tak kunjung menyerah. Awan semakin marah. Awan mengutus hujan dan badai menemaninya bertugas. Angin dengan sukarela membantu meniupkan dirinya sekuat tenaga. Perahu kertas Ksatria terbalik. Dan Ksatria kini berenang di lautan.

…..

Si Gadis Gila duduk di atas bukit. Sendirian. Padahal hari sudah malam. Nun jauh di sana, ia melihat awan sedang marah-marah, angin menendang-nendang entah apa. Gadis Gila tidak lagi peduli. Ia tidak lagi meminta teman-temannya berhenti marah dan menemaninya. Kini Gadis Gila, dahulu Bahagia, memilih bermain sendiri.

Gadis Gila kemudian menari. Dengan gaun yang dikenakannya sedari pagi. Berputar-berputar sambil menggenggam kantung rindu untuk Ksatria. Gadis Gila menari sambil menangis, kemudian berteriak bertanya, “Ksatria kapan kamu pulang, sayang?!”

Gadis Gila kemudian jatuh terduduk. Matanya kunang-kunang, tubuhnya seakan melayang terbang. Lalu terucap sumpah sekaligus doa. Bersamaan dengan itu hujan badai datang menghampiri. Gadis Gila berteriak dalam berisik gelegar petir, “Aku bersumpah, lebih baik kamu mati Ksatria! Dari pada kamu menjadi pengkhianat hatiku!”

Konon katanya, Tuhan akan mengabulkan doa ketika ada hujan badai.

…..

Ksatria masih mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk berenang menuju Pulau Elok.  Di pondok tepi pantai Pulau Elok, Malaikat sedang duduk-duduk santai menyalakan api unggun. Matanya tetiba menangkap satu titik kecil yang melambai-lambai. Malaikat Cantik kemudian berlari menuju laut. Perlahan dilihatnya Ksatria yang dikaguminya sedang berenang-renang berusaha menuju bibir pantai. Dalam gelap menuju malam, Malaikat nekat berenang menghampiri Ksatria. Berniat menolongnya.

Tetiba awan dan angin semakin liar. Mereka memanggil ombak untuk datang dalam rombongan. Ombak semakin tinggi dan menggulung. Menyeret Ksatria dan Malaikat kembali ke tengah lautan. Banyak air laut terminum dan mereka akhirnya sulit bernafas.

…..

Sementara itu, Gadis Gila terus meracau.

Lebih baik kamu mati Ksatria. Dari pada kamu mengkhianati hatiku.

#Negeri1000Hati

 

3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *