Familycation

Tokyo : Sebuah Perjalanan Mencari Makanan Halal

Ketika memutuskan untuk melakukan perjalanan ke luar negeri, yang pertama dipikirkan pastinya adalah kehalalan makanannya. Itu pun yang aku pikirkan saat akan melakukan perjalanan ke Tokyo karena aku memang agak sulit kalau kelaparan. Hehe…

Di Tokyo sebenarnya sudah cukup banyak makanan dan tempat makan yang halal baik yang sudah tersertifikasi maupun yang belum. Karena di Jepang, pengurusan sertifikat halal kabarnya cukup sulit dengan langkah yang cukup panjang. Karena itu, selain mencari tempat makan halal, aku pun membawa beberapa bekal makanan yang bisa kusimpan di hotel atau dibawa di dalam tas selama perjalanan. Seperti biskuit, cereal, susu, minuman coklat, dan kopi.  Hal ini penting untuk mengantisipasi jika saat di perjalanan belum menemukan tempat makan yang halal. Oya, aku juga bawa sambal untuk cocolan.

Bekal sambal untuk cocolan dari Dapur Senja.

Dari banyaknya makanan halal yang ada di Tokyo, ada beberapa yang sudah kucoba.

Hari pertama di Tokyo, aku berkunjung ke Sensouji Temple di daerah Asakusa. Dalam perjalanan menuju ke sana, aku mampir ke Family Mart dan mencoba membeli sushi. Sushi di Family Mart saja rasanya sudah mirip dengan sushi yang ada di Sushi Tei kalau di Indonesia. Di daerah Sensouji Temple atau di Nakamise Street banyak sekali kedai-kedai souvenir dan juga makanan camilan, es krim, mochi dan sebagainya.

Saat makan siang dan waktu shalat Dzuhur, aku mencari Naritaya Halal Ramen yang ada di area Nakamise Street. Banyaknya jalan kecil yang menyerupai gang-gang, membuat aku dan temanku sedikit tersesat. Google map sebagai penyelamat. Karena bertanya pada orang Jepang menggunakan bahasa Jepang seadanya, membuat kami tidak paham dengan jawaban panjang yang diberikan. Dan saat kami sampai tepat di depan kedai Naritaya Ramen, penjaga kedai pun menyambut kami dengan ucapan, “Omedetou…” yang artinya adalah ‘Selamat’ yang mungkin maksudnya adalah ‘Selamat, akhirnya kamu sampai juga’.

Di lantai dasar kedai ini kita bisa makan ramen dan beberapa menu lainnya di bar. Kita bisa duduk berhadapan dengan koki yang menyiapkan makanan yang dipesan oleh pelanggan. Di lantai 2, beberapa bangku disediakan dan juga ada mushola kecil untuk pengunjung bisa melaksanakan ibadah shalat.

Menu makanan di kedai Naritaya ini tidak hanya ramen. Ada beberapa makanan kecil dan juga minuman yang bisa dicoba. Dan porsinya sangat besar meski buatku yang punya kapasitas makan yang banyak. Karena aku datang ke kedai ini untuk numpang shalat, aku dan temanku hanya memesan seporsi kecil ramen, minuman, dan camilan untuk berdua. Itu pun sudah sangat mengenyangkan.

Harga seporsi ramen di Naritaya Ramen ini berkisar antara 700-1500 yen. Kita bisa memesan dengan menyesuaikan porsi makan biasanya. Jika biasanya hanya makan sedikit, pesan saja yang porsi kecil jangan yang regular.

Gotenba Premium Outlet dengan latar belakang Fujiyama

Di hari kedua, aku berkunjung ke Gontenba Premium Outlet. Di sana banyak sekali toko dengan brand kenamaan. Dari mulai fashion, aksesoris, perhiasan, hingga mainan anak. Tempat makan pasti menjadi hal penting di tempat perbelanjaan yang sangat luas. Pengunjung tentunya butuh asupan energi untuk berkeliling. Namun di tempat ini, aku dan temanku cukup galau memutuskan mau makan apa hingga akhirnya kami hanya memesan Mc.D. Kalau ini tidak perlu diceritakan ya…

Di hari itu, aku mengunjungi festival musim gugur yang diadakan di kawasan tidak jauh dari Mt. Fuji Ropeway. Festival itu diadakan di sore hingga malam hari. Di festival itu ada semacam bazar yang menjual berbagai jajanan khas Jepang.

Jajan di festival musim gugur.

Jamur bakar + keju dan Takoyaki

Di festival ini, kita perlu hati-hati saat mencari makanan halal. Karena banyak sekali jajanan yang menggunakan minyak babi saat memasaknya. Misalnya mie goreng. Wanginya saat dimasak memang sangat menggoda, tapi saat mengetahui bahan-bahannya, aku memilih untuk mencari makanan lain. Jamur bakar dan Takoyaki ini menjadi pilihan kami. Setelah mengetahui bahannya aman (dan tentunya dengan membaca Bismillah), kami hanya membeli dua makanan ini dari sekian banyak pilihan.

Malam harinya, aku kembali jalan di area Nakamise Street Asakusa, karena memang hotel tempat kami menginap berada di kawasan tak jauh dari sana. Aku penasaran dengan jajanan Jepang berbentuk ikan yang kabarnya enak. Dan setelah kucoba…. beneran enaaaakkk..

Kedai Taiyaki di kawasan Nakamise, Asakusa

Taiyaki adalah kue khas Jepang yang berbentuk ikan. Bagian isiannya bisa kita pilih sesuai dengan menu yang tersedia dan biasanya rasanya manis. Harganya murah meriah sekitar 200an yen tergantung pilihan rasanya. Waktu itu agak menyesal juga hanya mencoba satu, tapi mau pesan lagi antriannya cukup panjang. Di waktu yang sama, ada teman-teman yang mencoba ramen lain di daerah Shinjuku, di tempat ramen itu juga dijual ramen wagyu yang harganya benar-benar bisa membuat pingsan. Bukan sekedar kenyang.

Hari ketiga di Tokyo, pagi hari kami sarapan di Tsukiji Fish Market. Di pasar ini sudah banyak penjual yang paham bahwa kami yang menggunakan hijab adalah muslim yang mencari makanan halal. Ada banyak juga penjual ikan muslim di sini. Mereka seringkali menyapa dengan mengucapkan salam dan memberitahukan bahwa dagangan mereka halal. Di sepanjang pasar, banyak penjual ikan bakar dadakan yang dibentuk seperti sate-sate yang dijadikan camilan. Selain ikan, ada juga kaki kepiting, kerang, gurita, cumi-cumi, dan masih banyak yang lainnya.

Di area Tsukiji Fish Market. Pasar Ikan.

Harga jajanan di Tsukiji Fish Market cukup murah. Yang jelas, kita bisa membayarnya dengan menggunkan koin-koin yang ada di dompet receh. Di sini, aku sempat mencoba scalob bakar. Enak. Tapi karena scalob saja tidak cukup, aku mencari tempat makan sushi. Tempat makan sushi yang menjadi pilihan adalah Sushizanmai.

Sushizanmai dengan buku menu berbagai bahasa. Tapi Indonesia gak ada.

Sushi bar.

Kalau makan sushi, memang minimal harus 2 porsi.

Setelah makan, aku dan temanku mencoba es krim matcha. Ternyata es krim di Jepang pun porsinya banyak sekali. Aku tidak sanggup menghabiskan satu cone es krim.

Perjalanan di hari itu dilanjutkan dan sebagai bekal di perjalanan, aku mencoba minuman yang dibeli di vending machine. Beberapa teman yang sama-sama datang ke Jepang, sejak hari pertama mereka sudah banyak mencoba berbagai minuman yang dijual di vending machine, tapi aku baru di hari ketiga mencobanya.

Dan pilihanku jatuh pada minuman Yakult ini.

Di siang hari, kami berada di kawasan Harajuku dan berencana makan di Akihabara. Namun karena kami sempat salah jalan dan kesulitan mencari tempat makan kare Jepang yang halal, aku dan beberapa teman baru sempat makan siang di pukul 5 sore.

Di Akihabara ada kedai kare Jepang yang sudah memiliki cabang di Jakarta. Tapi kita perlu berhati-hati saat memilihnya karena kedai kare ini, meski dengan nama yang sama CocoIchi, ada yang berlabel halal dan ada yang memang menjual kare dengan babi. CocoIchiya yang halal yang berwarna hijau, sedangkan yang tidak halal berwarna oranye.

Kedai kare ini berukuran sangat kecil. Paling hanya muat sekitar 10 orang di dalamnya dan makan di area seperti bar. Jika kedai penuh, pengunjung lain harus menunggu di luar kedai hingga bisa bergiliran masuk. Untuk makan di sini, aku harus ngampar di pinggiran trotoar hingga lebih dari 30 menit.

Menu kare bisa dipilih sesuai selera dan juga bisa disesuaikan dengan porsi makan biasanya. Untuk porsi standar, nasi yang diberikan sebanyak 300 gr. Jika ingin menambah porsi tentunya ada harga yang harus dibayar. Begitu pula saat ingin memesan nasi dalam jumlah yang lebih sedikit, pasti ada pengurangan harga.

Penjual kare di CocoIchi. Kami bertaruh, apakah mereka adalah pasangan suami istri?

Serifikat halal.

Kedai kare CocoIchi

Di Tokyo, aku memang tidak banyak mencoba makanan. Karena makan di sana hanya untuk sekedar mengisi energi meskipun sebenarnya penasaran dengan ini itu yang dijual di sana tapi kehalalan makanan tetap yang menjadi pertimbangan.

Saat malam, kabarnya menu makanan di tempat makan di Jepang akan berharga lebih mahal jika dibandingkan siang hari. Karena itu saat malam sering kali aku dan temanku hanya ngemil cereal atau masak mie instan di kamar.

Untung di kamar ada kompor dan panci.

Kalau ada kesempatan untuk mengunjungi Tokyo lagi, mungkin aku akan coba lebih banyak makanan halal yang ada di sana. Itu juga kalau uangnya cukup… ^_^

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *